Pages

Kamis, 02 Desember 2010

KEHIDUPAN ANAK JALANAN DI INDONESIA

0 komentar
Kisah Nyata Nasib Anak-anak Indonesia Yang Kurang Mampu

Ini kisah nyata tentang nasib anak-anak usia sekolah di Indonesia yang hidupnya kurang mampu/miskin dengan kondisi mereka yang sangat memperihatinkan pada akhirnya mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Mudah-mudahan dengan semakin banyak saudara-saudari kita yang peduli terhadap nasib-nasib anak-anak tersebut terutama memberikan bantuan berupa dana pendidikan insha Alloh problematika-problematika tersebut akan ditemukan solusinya.


Aduh… Susahnya Rakyat Miskin Pergi ke Sekolah
SEPERTI biasa Asep Supriyadi (14) saban hari selalu berada di SD Negeri 06 Rawajati Barat di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Hanya saja, saat anak-anak lain mengikuti pelajaran di kelas, bocah berkulit hitam itu setia menjagai gerobak siomay dagangannya.
           BEGITU bel istirahat berdering, saat itu pula kesibukan Asep melayani para pembeli cilik yang masih seumur dengannya dimulai. Sesekali Asep terlihat bercanda-canda dengan mereka. Selain di sekolah itu, Asep juga berjualan di beberapa SD dan SMP di kawasan itu.
           Hampir satu tahun ini Asep yang lulusan SD Negeri 04 di Desa Cengal, Majalengka, Jawa Barat, kurang bersekolah lagi. Dia kurang ingin membebani orangtuanya yang hanya penjual sayur-sayuran dan kadang- kadang terpaksa mencari rumput pakan sapi untuk menutupi biaya hidup. Selain itu, pelajaran di sekolah menurut dia terlalu berat sehingga dia merasa kurang kuat atau kurang cukup pintar untuk belajar terus.
            Ketika kakak sepupunya, Udin, mengajak dia ke Jakarta untuk berjualan siomay, Asep Supriyadi dan orangtuanya langsung mengiyakan. Tiga bulan sudah dia berjualan, mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 15.00, berkeliling mendorong gerobak. Upah Rp 200.000 dibayarkan langsung ke orangtuanya di desa. Di Ibu Kota, bocah itu tinggal bersama lima pedagang lain di sebuah kamar kontrakan di daerah Pancoran. "Lebih baik saya dagang, dapat uang," kata Asep mempertegas niatnya untuk melupakan saja bersekolah.
           Kalau Asep Supriyadi memilih berhenti sekolah dan bekerja, nasib lebih tragis menimpa Bunyamin (17). Siswa kelas II Logam I SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itu tewas gantung diri di tiang dapur rumahnya (Kompas, Kamis 7 April 2005). Ironisnya, Bunyamin diduga bunuh diri lantaran kurang mampu membayar biaya sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP). Kepada Kamiluddin (26), sepupunya, almarhum sempat bercerita selama sepuluh hari kurang masuk sekolah takut kurang bisa membayar uang sekolah, rendah diri dan ngeri dikeluarkan dari sekolah. Apalagi saat itu sudah menjelang ujian akhir. Saking paniknya, menurut salah seorang temannya, Bunyamin sempat berniat menjual sepatu yang biasa dipakai ke sekolah untuk menutupi uang SPP.
          Uang sekolahnya itu sebesar Rp 40.000 sebulan dan sudah tertunggak sembilan bulan. Orangtua almarhum merantau di Jakarta sebagai penjual nasi goreng sehingga Bunyamin tinggal bersama kakaknya yang sudah mempunyai tanggungan keluarga sendiri. Sebelum upaya pihak sekolah mencarikan beasiswa berhasil, Bunyamin kadung memilih mengakhiri hidupnya.
         DARI sekian banyak pilihan sebagai bangsa yang baru merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan mencerdaskan bangsa sebagai salah satu tujuan negara. Pendidikan saat itu telah disadari merupakan hak dasar dan mencerdaskan bangsa. Artinya, kurang ada satu pun yang boleh tertinggal untuk mengecap pendidikan. Ironisnya, hampir enam puluh tahun kemudian, pendidikan masih menjadi kemewahan. Bahkan, masih ada warga di negeri ini yang tak sanggup lagi mengecapnya, seperti Asep dan Bunyamin.
         Pusat Data dan Informasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional memproyeksikan, murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/ MA mencapai 1.122.742 anak. Angka terbesar justru putus sekolah tingkat SD, yakni mencapai 685.967.